
Gaji Habis untuk Lifestyle, Sampai Kapan?
“Gajian baru dua hari, kok saldo udah menipis aja?”
Kalimat ini mungkin terdengar akrab buat banyak anak muda, terutama Gen Z dan Milenial yang hidup di tengah derasnya arus tren. Nongkrong di kafe kekinian, traveling demi konten, upgrade gadget terbaru—semua terasa seperti kebutuhan, padahal lebih sering jadi jebakan gaya hidup.
Fenomena ini bukan sekadar perasaan. Data dari beberapa survei konsumsi di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengeluaran Gen Z bukan hanya untuk kebutuhan pokok, melainkan juga lifestyle: makan di luar, hiburan, dan belanja online. Bahkan, sebuah riset menyebutkan hampir 40% anak muda di kota besar mengaku uang gaji mereka habis sebelum akhir bulan, sebagian besar karena pengeluaran konsumtif.
Memang, siapa sih yang nggak tergoda? Bayangkan: nongkrong bareng teman seminggu sekali dengan kopi seharga Rp40 ribu, dalam sebulan bisa menghabiskan hampir Rp200 ribu hanya untuk “ngopi cantik”. Belum lagi kalau setiap tahun merasa harus upgrade smartphone biar nggak ketinggalan tren—harga iPhone terbaru misalnya, bisa setara dengan cicilan rumah beberapa bulan. Ditambah kebiasaan liburan singkat ke destinasi hits yang tiap kali menguras jutaan rupiah. Semua itu membuat gaji terasa “lewat begitu saja”, tanpa jejak jangka panjang.
Di satu sisi, wajar kalau anak muda ingin menikmati hasil kerja kerasnya. Setelah lima hari kerja penuh tekanan, nongkrong dan traveling bisa jadi pelarian. Tapi, masalah muncul ketika kesenangan sementara ini mengorbankan stabilitas jangka panjang. Efeknya? Banyak Gen Z yang merasa “kerja keras, tapi nggak punya apa-apa”.
Lalu, pertanyaannya: apakah lifestyle itu salah? Tidak juga. Hidup memang perlu dinikmati. Tapi yang sering kita lupakan adalah keseimbangan. Nongkrong atau beli gadget baru boleh saja, asal ada porsi untuk tabungan dan investasi. Karena kalau semua habis untuk hal-hal yang hanya memberi kepuasan sesaat, kita akan terus terjebak dalam siklus “gajian – senang sebentar – tanggal tua menjerit”.
Bayangkan kalau sebagian kecil saja dari pengeluaran lifestyle itu dialihkan ke sesuatu yang lebih bernilai. Misalnya, uang Rp1 juta yang biasanya habis buat nongkrong, belanja impulsif, atau langganan hiburan, kalau dikumpulkan setiap bulan bisa menjadi cicilan investasi jangka panjang. Apa bentuk investasinya? Banyak pilihan—mulai dari reksa dana, emas, hingga aset paling nyata: properti.
Nah, di titik inilah banyak anak muda mulai membuka mata. Rumah bukan lagi sekadar tempat tinggal, tapi juga simbol keamanan dan investasi. Harga properti di Indonesia cenderung naik setiap tahun. Artinya, membeli rumah bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk masa depan finansial.
Masalahnya, banyak Gen Z berpikir: “Mana bisa beli rumah? Gaji aja habis buat hidup sehari-hari.” Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena memang harga rumah terus meningkat. Tapi sebenarnya, kesempatan itu masih ada, terutama dengan berbagai skema yang ditawarkan developer masa kini. Ada program cicilan ringan, bahkan ada yang tanpa uang muka (DP 0%). Kalau dihitung-hitung, nominal cicilannya seringkali tidak jauh berbeda dengan pengeluaran lifestyle bulanan anak muda di kota besar.
Ambil contoh sederhana: sekali upgrade smartphone flagship bisa habis Rp20 jutaan. Dengan angka yang sama, sebenarnya bisa jadi modal awal untuk punya hunian. Atau biaya nongkrong Rp200–300 ribu per minggu, kalau dikalkulasikan setara cicilan rumah per bulan. Bedanya, kopi habis dalam hitungan jam, gadget usang dalam hitungan tahun, tapi rumah? Nilainya cenderung naik dan bisa diwariskan.
Dan kabar baiknya, sekarang sudah ada opsi hunian yang ramah buat anak muda. Misalnya Villa Esperanza, perumahan di perbatasan Cibinong–Cilodong. Lokasinya strategis, dekat akses kota, tapi suasananya tetap tenang untuk tinggal. Program cicilannya juga fleksibel, bahkan dengan DP 0% sehingga nggak perlu nunggu “tabungan ratusan juta” dulu untuk punya rumah sendiri. Dengan harga yang masih terjangkau, anak muda bisa punya hunian nyaman tanpa harus meninggalkan gaya hidup sepenuhnya.
Pergeseran cara pandang ini penting. Bukan berarti kita harus berhenti bersenang-senang, melainkan belajar memilah: mana yang memberi kesenangan sesaat, dan mana yang bisa memberi ketenangan jangka panjang. Dengan cara itu, gaji yang sebelumnya “raib entah kemana” bisa mulai memberi jejak nyata dalam hidup kita.
Generasi sekarang dikenal cerdas, kreatif, dan melek informasi. Sudah saatnya kecerdasan itu juga diterapkan dalam mengelola keuangan. Lifestyle tetap boleh, tapi jangan sampai menelan seluruh masa depan. Karena pada akhirnya, punya rumah sendiri bukan cuma soal gengsi, tapi juga soal rasa aman—punya tempat pulang, punya aset, dan punya pegangan yang nilainya terus bertumbuh.
Jadi, sebelum gaji bulan ini kembali “lenyap” untuk hal-hal yang sifatnya sementara, coba tanyakan ke diri sendiri: mau sampai kapan terjebak di siklus itu? Mungkin sekarang saat yang tepat untuk mengubah arah—dari sekadar mengikuti tren, menuju membangun masa depan yang lebih pasti. Dan siapa tahu, keputusan kecil hari ini bisa jadi pondasi besar untuk kehidupan esok.